Apakah Perlu Membatasi Membicarakan Anak Saat Bertemu Teman?

mothers talking 2 | | Apakah Perlu Membatasi Membicarakan Anak Saat Bertemu Teman?
Foto: www.gettyimages.com

Bahkan ketika medium berbicara dengan teman tidak hanya terbatas lewat Zoom atau Google Hangouts, sepertinya teman-temanmu yang sudah menikah dan punya buah hati selalu membicarakan anak mereka. Pada sebagian besar waktu, topik tersebut menarik, tapi sering kali kita ingin membicarakan hal lain. Bagaimana cara yang tepat menyampaikan kepada teman bahwa kamu ingin membahas hal lain? Berhubung ini isu yang sensitif, LIMONE menghubungi seorang psikolog. Baca terus artikel ini untuk mengetahui mengapa orangtua selalu membicarakan anak dan apa yang bisa lakukan agar topik pembicaraan pertemuan virtual dan non-virtual berikutnya lebih variatif.

Mengapa Orangtua Menjadikan Anak Topik Utama Setiap Pembicaraan? 

membicarakan anak
Foto: www.gettyimages.com

Ah, mungkin pertanyaan di atas sering muncul di benak kamu ketika mendengar curhat terbaru tentang anaknya. “Orangtua sering menjadikan anak topik pembicaraan karena terlalu memaknai dan menghayati peran/role sebagai ‘orangtua,'” jelas Anastasia Satriyo M.Psi., Psi, seorang psikolog anak, melalui email.

“Padahal di saat yang bersamaan, masih ada peran-peran atau role kita yang dijalani bersamaan. Misalnya sebagai suami/istri, kakak/adik, pemilik usaha/karyawan, teman dari seseorang, anggota komunitas atau organisasi. Dan yang terutama dan terpenting namun suka diabaikan adalah ‘kita sebagai diri sendiri’ itu seperti apa,” imbuhnya

Anastasia menambahkan bahwa pada orangtua baru, antusiasme tinggi membicarakan anak bisa jadi karena gembira dengan kehadiran anak yang diharapkan. Sementara pada orangtua dengan anak usia sekolah atau remaja, terkadang pembicaraan anak naik ke permukaan karena “mungkin ada masalah yang dialami anak yang membuat emosi marah dan emosi negatif dari orangtua muncul. Jadinya, orangtua butuh sarana/outlet untuk venting out emosi/menyalurkan emosi dengan bercerita atau membahas anak,” terangnya.

Adakah Istilah ‘Terlalu Sering Membicarakan Anak’ kepada Orang Lain? 

membicarakan anak
Foto: www.istockphoto.com

“Ada tapi perlu refleksi ke diri masing-masing dalam sehari berapa lama membicarakan anak. Namun saya sempat survei di Facebook saya, rata-rata bilang hanya 1 jam membahas dengan pasangan tentang anak. Sisanya membahas urusan rumah tangga lainnya,” jelasnya.

Hei, tidak ada yang salah dengan membicarakan anak! Namun, tidak ada salahnya untuk mempertimbangkan posisi lawan bicara kita. Oleh karenanya, Anastasia menyarankan beberapa hal.

“Untuk membicarakan soal anak, pertama sadari dulu apa tujuan kita membicarakan anak, lalu lihat dan amati kesiapan lawan bicara kita untuk membahas tentang anak sekalipun dengan pasangan kita sendiri,” sarannya. Pasalnya, menurutnya, bisa jadi lawan bicara sedang tidak mood atau lagi memikirkan hal lain.

“Kalau punya teman yang belum memiliki anak, kadang cukup males diajak ngomong melulu tentang anak dan lupa membahas tentang diri kita sebagai diri sendiri. Tapi kalau membahas di komunitas ibu-ibu seperti birth club dan komunitas parenting lainnya, malah saling sharing tentang kondisi anak, bisa bikin kita connect dan bonding dengan orangtua/ibu yang lain,” ujarnya.

Anastasia menekankan bahwa pada dasarnya, konten pembicaraan kita harusnya menjadi sarana untuk connect secara emosi dengan manusia lain. Ini artinya, penting mencari topik obrolan yang nyaman untuk lawan bicara kita.

“Bila kita berhadapan dengan lawan bicara yang sedang berusaha punya anak atau belum punya anak, kita bisa melakukan komunikasi asertif dengan bertanya, “Oke nggak kalau aku bahas anakku?’. Tapi kalau teman kita menjawab ‘iya’ dengan normatif atau terpaksa, kita sebaiknya peka dengan membaca raut wajah dan ekspresi bahasa tubuhnya. Syukur kalau dapat teman yang sudah merasa aman dan nyaman untuk terus terang. Dengan begini, kita lalu bisa bahas hal-hal lain,” lanjutnya.

Bagaimana Kita Tahu bahwa Kita Terlalu Sering Membicarakan Anak?

membciarakan anak
Foto: www.gettyimages.com

Jika pada smartphones kamu bisa mengetahui durasi online melalui Weekly  Report Available Screen, bagaimana caranya kamu tahu bahwa kamu terlalu sering membicarakan anak?

“Kuncinya sadari diri atau self-awareness,” tekan Anastasia. “Kepekaan terhadap orang lain tidak bisa muncul tiba-tiba tapi bisa dilatih dengan peka sama diri kita sendiri dan belajar empati lewat bertanya ke diri sendiri,” lanjutnya.

Untuk itu, kamu bisa mengajukan pertanyaan seperti, ‘Kalau saya jadi dia, apakah akan nyaman jika berada dalam situasi yang sama?’. Atau, kamu juga bisa meminta feedback dari orang lain dengan bertanya, ‘Eh, saya keseringan bahas anak saya nggak, sih?’

“Pertanyaan ini perlu diajukan karena saya pernah dikasih feedback sama teman karena tiap ketemu sukanya bahas pasangan saya. Dari situ saya jadi lebih sadar dan aware,” ujarnya.

Dan seandainya kamu lupa, topik tentang anak sebaiknya tidak dibicarakan kepada emua orang.

“Ini masuknya ke isu keamanan untuk anak dan social skill serta kepekaan kita,” katanya.

Menurutnya, penting untuk menjadikan pasangan kita di rumah sebagai orang yang paling sering kamu ajak mengobrol tentang anak, atau dengan pakar perkembangan dan psikologis anak.

Apa yang Sebaiknya Kita Perhatikan Saat Membicarakan Anak di Media Sosial?

mothers talking 5 | | Apakah Perlu Membatasi Membicarakan Anak Saat Bertemu Teman?
Foto: www.gettyimages.com

Untuk informasi yang bersifat umum, seperti mungkin hobi dan makanan kesukaan serta aktivitas anak, boleh saja berbagi dengan orang lain (tapi bukan orang asing). Sebaliknya, jika anak terlihat memiliki masalah tumbuh kembang dan emosi apalagi berkaitan dengan isu yang agak sensitif, sebaiknya super hati-hati saat ingin membicarakannya dengan pihak lain.

“Misalnya, anak laki-laki seorang teman saya sempat bilang kalau dia suka Elsa atau nyeletuk suka pakai rok. Nah, jangan ceritakan hal ini sembarangan kepada orang lain dan sebaiknya konsultasi ke ahli karena judgement orang-orang Indonesia masih cukup kuat. Daripada bikin kita down dan terpuruk, lebih baik fokus cari solusi dari ahli yang kompeten. Tujuannya agar isu ini tidak berkembang menjadi gosip yang dapat mengganggu kesehatan mental kita sebagai orangtua dan anak kita juga bisa rentan mengalami bullying,” paparnya.

Nah, seperti hampir semua hal di dunia berhubungan dengan dunia online dan media sosial—para orangtua seringkali menggunakan platform online untuk membicarakan anaknya. Apa yang harus kita tahu?

“Pertama, cek dulu siapa lingkaran pertemanan kita di sosial media karena ada yang memang private dan hanya connect secara online. Dan ada yang dikenal di dunia nyata secara fisik. Dan ada yang open for public,” sarannya.

Jika open for public, sebaiknya tidak membagikan data pribadi anak seperti alamat sekolah, lokasi tempat tinggal.

Plus, seperti yang disebutkan di atas: sadari dan tanyakan kepada diri sendiri apa tujuan kita berbagi tentang anak di media sosial. Misalnya, ketika kamu ingin membagikan foto anak di Instagram atau Facebook.

“Ketika anak sudah berusia 3 tahun ke atas, tanyakan dulu kepada anak apakah dia memperbolehkan dan merasa nyaman jika fotonya dibagikan. Ini adalah saat yang tepat untuk mengajarkan anak tentang consent atau persetujuan dirinya jika berkait dengan dirinya. Bahwa ia punya hak dan memiliki otoritas tubuh dan keselamatan dirinya sendiri,” tegasnya.

Selanjutnya: ini cara membantu anak yang menjadi korban perundungan.

error: Konten dilindungi !!