Benarkah Jika Kita Berusaha “Tidak Ada yang Tidak Mungkin?”

tidak ada yang tidak mungkin
Foto: www.gettyimages.com

Ada yang bilang, “tidak ada yang tidak mungkin di dunia ini jika kita berusaha.” Kaum optimis dan pecinta kata-kata mutiara positif mungkin akan merangkul prinsip ini. Sementara di sisi lain, pemilik DNA pesimis akan memicingkan mata dan mengerutkan kening saat mendengarnya.

Apa sebenarnya arti kata-kata “tidak ada yang tidak mungkin?” LIMONE mengontak Dr. Esther Widhi Andangsari, M.Si., Psikolog, seorang pengajar dan Wakil Ketua Departemen Psikologi Universitas BINUS untuk mendapatkan pencerahan.

“Prinsip ini merupakan semacam meyakini diri sendiri bahwa dirinya sanggup untuk menyelesaikan sesuatu, mengerjakan sesuatu, atau semacam harapan untuk hal yang dianggap tidak mungkin bagi orang lain,” jelas Esther.

Menurutnya, prinsip ini semacam “self talk” untuk menyemangati diri sendiri. Atau juga ungkapan yang diberikan kepada orang lain ketika ada seseorang yang curhat. “Kalimat ini digunakan agar orang yang curhat tersebut tetap semangat menjalani kesulitan yang sedang dihadapinya,” tambahnya.

Apakah memang tidak ada yang tidak mungkin? Baca terus sampai habis artikel ini untuk menemukan jawabannya, dan adakah prinsip lain yang lebih valid.

Apakah Prinsip Ini Sebuah Toxic Positivity

tidak ada yang tidak mungkin
Foto: www.unsplash.com

Jika seseorang yang kamu kenal (atau mungkin kamu sendiri) penganut prinsip ini, kemungkinan ada sebuah latar belakang mengapa memegang teguh hal ini.

“Bisa saja ada kesulitan yang sedang dihadapi sementara tuntutan tinggi, sehingga orang ini perlu untuk menyemangati dirinya sendiri,” terangnya. Atau, “bisa saja seseorang yang sedang ada masalah, kemudian curhat pada orang lain. Kemudian orang tersebut memberikan saran atau nasihat berupa kata-kata yang dianggap positif bagi orang yang bermasalah itu,” imbuhnya.

Sekilas “tidak ada yang tidak mungkin” terdengar seperti toxic positivity. Benarkah hal ini bisa dimasukkan ke dalam kategori ini?

“Menurut saya tergantung kondisinya atau konteksnya, untuk menentukan apakah ini ‘toxic positivity‘ atau tidak,” jawabnya.

“Bagi orang-orang yang secara impulsif atau emosional semata mengucapkan kata-kata tersebut, entah pada diri sendiri atau ditujukan pada orang lain, tetapi dia sendiri sebenarnya tidak meyakini kata-kata tersebut—bisa saja menjadi semacam toxic psitivity,” jelasnya.

“Bisa juga menjadi toxic positivity ketika orang ini justru denial atau menolak adanya persoalan dan perasaan negatif atau emosi negatif yang ada. Orang ada kalanya menginginkan sesuatu yang ‘baik’ atau ‘enak’ tetapi menolak adanya sesuatu yang negatif pada dirinya. Kalimat tersebut diucapkan bukan untuk menyemangati diri sendiri tetapi menolak kenyataan yang ada dan menganggap dirinya baik-baik saja. Keyakinan yang salah ini bisa membuat seseorang justru akhirnya tidak berupaya atau melakukan apa pun,” ujarnya.

Namun, di sisi lain, kalimat ini bisa tidak menjadi toxic positiity ketika orang tersebut memiliki kesadaran (self-awareness) bahwa memang persoalan itu nyata, kesulitan itu memang di depan mata, saat ini ia berada dalam kesulitan dan menyadari bahwa harus ada upaya untuk melakukan sesuatu.

“Sehingga kata-kata ‘nothing is impossible‘ (tiada yang mustahil) bisa menjadi pendorong atau meyakini diri sendiri bahawa usaha yang ia lakukan untuk mengatasi persoalan itu-merupakan sesuatu yang memungkinkan,” tegasnya.

Apakah Memang Tidak Ada yang Tidak Mungkin dalam Hidup?

tidak ada yang tidak mungkin
Foto: www.unsplash.com

Kamu sudah hidup lebih dari seperempat abad dan menelan berbagai asam garam dunia, apa pendapatmu tentang prinsip ‘tidak ada yang tidak mungkin’ ini?

Menurut Esther ungkapan ini sebenarnya banyak beredar di kalangan masyarakat Indonesia yang memiliki sistem kepercayaan dengan nilai- spiritual tertentu.

“Keyakinan bahwa ‘tiada yang mustashil’ itu bisa saja terwujud ketika seseorang memiliki keberserahan pada Tuhan dan meyakini bahwa Tuhan memberkati usaha yang dilakukannya. Keberserahan berarti manusia tetap aktif melakukan sesuatu sementara kognisi dan afeksi meyakini adanya penyertaan dari Tuhan,” bebernya.

“Di sisi lain bila dipikirkan dengan logika manusia, kelihatannya sulit untuk melihat ‘tidak ada yang tidak mungkin’—tiada yang mustahil—secara nyata dalam kehidupan manusia. Kalimat ini menurut saya maknanya  bisa ganda, tergantung pada keyakinan seperti apa dan kesadaran diri seperti apa yang dimiliki oleh seseorang,” ujarnya.

Apakah salah jika memegang prinsip hidup ini? Tergantung.

“Tergantung kondisi keyakinan diri dan kesadaran diri orang tersebut. Bila kesadaran diri rendah dan sekadar impulsivitas memegang prinsip tersebut, maka ini bisa menjadi hal yang salah. Tetapi bila ia menerima kesulitan hidup dan ada usaha yang dilakukan serta meyakini usaha tersebut setidaknya memberikan pengharapan, bisa saja menjadi positif. Karena bila usaha tersebut ternyata gagal, setidaknya kesadaran diri akan membuatnya bisa menerima kenyataan,” jelasnya.

Dengan kata lain, prinsip ini memiliki efek positif dan negatif—yang semuanya tergantung pada situasi, kondisi, dan individu.

Negatif bila akhirnya “membuat seseorang malah justru tidak melakukan apa pun dan mengharapkan sesuatu yang terlalu berlebihan. Tetapi bila sudah ada upaya, setidaknya ia perlu menyemangati dirinya atas usaha yang dilakukannya dengan catatan menerma kenyataan yang ada, ini bisa berdampak positif,” terangnya.

Bagaimana Menghadapi Kegagalan Padahal Sudah Berusaha?

mental health 3 | | Benarkah Jika Kita Berusaha
Foto: www.rawpixel.com

Kamu sudah melakukan berbagai usaha dan memiliki pengharapan segalanya lancar jaya (ini sesuatu yang normal), tapi sh*ts happen (ini sering kali terjadi)—sehingga skenario terburuklah yang terjadi. Kamu pun sedih luar biasa (ini sesuatu yang wajar). Bagaimana bisa menghadapi kegagalan dan rasa sedih plus kecewa bercampur marah dan perasaan-perasaan lainnya itu?

“Perlu ada kesadaran diri, menerima kenyataan yang ada termasuk menerima semua perasaan negatif yang dirasakan,” ujarnya.

“Terima diri apa adanya, tidak memaksakan diri secara berlebihan atau tidak terukur secara realistis. Menerima kenyataan diri termasuk emosi negatif itu perlu supaya bisa lebih realistis dan tetap solutif. Mencurahkan perasaan negatif boleh saja, setelah itu mari bersikap tenang untuk dapat berpikir dan menemukan solusi lain bila solusi yang sebelumnya tidak berhasil. Terima diri dan keadaan yang menimpa diri,” tekannya.

Kegagalan ini mungkin membuatmu ingin membuang jauh-jauh prinsip hidup “tidak ada yang tidak mungkin” dan menggantikannya dengan hal lain.

“Miliki prinsip yang intinya menerima kondisi diri dan kenyataan negatif termasuk emosi negatif yang ada, kemudian mendorong diri sendiri berupaya semampunya dan menerima apa pun hasil yang ada,” saran Esther.

“Yang baik adalah cobalah untuk beradaptasi dengan segala kenyataan yang ada. Misal, ‘Bila gagal sekali bukan berarti saya gagal seterusnya’. Atau ‘Kesulitan membuat saya semakin bertumbuh dan membentuk dir ilebih baik’. Atau bisa juga ‘Persoalan yang diselesaikan dengan baik membuat saya lebih kreatif dan inovatif’. Yang berbau spritual juga bisa seperti ini ‘Lakukanlah yang terbaik dan relakanlah Tuhan mengerjakan bagianNya,'” anjurnya.

Bagaimana menurutmu, apakah memang tidak ada yang tidak mungkin di dunia ini? Well, kalau kata Depeche Mode sih, Nothing’s Impossible. Dan Tom Cruise berkali-kali bilang bahkan Mission Impossible bisa berhasil (buktinya akan dirilis Mission: Impossible 7). Mungkin jika dibarengi dengan tagline Nike “Just Do It“, prinsip tidak ada yang tidak mungkin ada sisi positifnya? Yang pasti, kalau kata Albert Einstein: everything is relative.

Selanjutnya: Step by Step Melatih Diri Melakukan Refleksi Diri.
error: Konten dilindungi !!