Mengapa anak takut monster? Di dalam lemari. Atau di mesin cuci (ingat Home Alone 2?).
Untuk memecahkan misteri ini, LIMONE menghubungi Orissa Anggita Rinjani, seorang Psikolog Pendidikan dan Co-Founder Rumah Dandelion. Berikut penjelasannya mengapa anak takut monster dan bagaimana cara membantunya mengatasi ketakutan tersebut.
Apa yang Membuat Anak Takut Monster?

“Rasa takut adalah hal manusiawi pada diri manusia, rasa ini membuat kita berhati-hati dan merupakan bagian dari survival instinct. Bahkan orang dewasa punya rasa takut,” jelas Orissa kepada LIMONE melalui email.
Perbedaan rasa takut antara orang dewasa dan anak-anak adalah sumber rasa takut. Jika bayi takut pada suara keras dan orang asing, maka balita merasa takut pada hal-hal yang tidak familier, yang tidak bisa dia pahami.
Orissa memberikan contoh, misalnya anak takut duduk toilet karena terhanyut dibawa air.
Sementara, anak prasekolah bisa takut pada hal-hal yang muncul dari imajinasinya, termasuk monster di bawah tempat tidur. “Ini terjadi karena anak masih belajar membedakan antara fantasi dan realita,” terangnya.
Menurutnya, anak takut monster bisa berakar dari rasa ngeri akan gelap, juga bisa karena menonton film atau membaca buku yang memiliki karakter seram.
“Atau bisa juga karena perilaku pengasuh yang kurang tepat dalam membuat anak melakukan sesuatu dan akhirnya menjadi kontra produktif. Misalnya dengan mengatakan ‘kalau nggak nurut atau nakal, kamu nanti dikejar/diambil monster, lho.'”
Anak takut monster biasanya paling banyak muncul usia prasekolah, yakni antara usia 3 sampai 6 tahun, jelasnya. Di atas usia tersebut, “sudah tidak wajar ketika sudah usia sekolah, apalagi sudah remaja, masih memiliki ketakutan terhadap monster.”
Dan seiring bertambah usia, ketakutan terhadap monster akan hilang—berganti dengan ketakutan lain yang lebih berbasis realita seperti bencana alam, sakit, kematian, kecelakaan, dijauhi teman, tidak lulus ujian, dll.
Apa yang Sebaiknya yang Dilakukan dan Tidak Dilakukan ketika Anak Takut Monster?

Pertama-tama, sama seperti emosi-emosi lain (positif dan negatif), Orissa menegaskan agar orangtua perlu menerima rasa takut yang dirasakan anak.
“Jangan mengabaikan atau meremehkan rasa takutnya. Bagi anak takut monster, takut yang dirasakan itu nyata, meskipun bagi orang dewasa sumber rasa takutnya ‘tidak masuk akal’,'” jelasnya.
Ada yang banyak yang bisa kamu lakukan, tapi menurut Orissa sebisa mungkin hindari melakukan beberapa hal ini saat menghadapi anak takut monster.
- Hindari mengatakan, “Jangan cengeng” atau “Gitu aja takut, nggak ada itu monster” dengan nada mengejek atau menandakan orang tua tidak percaya pada anak (menganggap anak hanya cari perhatian/ mengada-ada).
- Hindari menakuti-nakuti, “Kalau kamu takut nanti malah keluar beneran lho, monsternya. Monsternya itu sukanya sama anak penakut dan cengeng”.
- Hindari juga berkata yang meyakinkan anak memang ada monster. Misalnya dengan mengatakan: “Mana monsternya? Papa usir biar kabur! Papa dan kamu ‘kan kuat, monsternya yang akan takut!” Menurut Orissa, alih-alih mengatakan ini, “kamu bisa ajak anak untuk mengecek sama-sama dengan mengatakan, ‘Ayo kita lihat sama-sama, ada apa di bawah tempat tidur? Apa yang kamu lihat?'”

Seperti yang disebutkan di atas, sangat penting jika orangtua bisa menerima perasaan anak takut monster dan tidak meremehkannya. Kamu bisa menunjukkan simpati dengan melakukan beberapa hal di bawah ini.
Ceritakan pengalamanmu sendiri
“Tunjukkan bahwa kita memahami rasa takutnya, karena kita juga pernah merasa takut monster saat ia kecil dulu. Atau bahkan hingga besar masih ada rasa takut,” saran Orissa. Cara menunjukkan simpati ini dengan menceritakan pengalaman sendiri dan cara mengatasinya.
Contohnya dengan mengatakan:
“Kamu takut, ya? Mama juga pernah merasa takut. Mama pernah takut naik lift karena takut terjepit. Ternyata ketika Mama coba, tidak apa-apa. Kita tidak akan terjepit jika berhati-hati. Dan dinding-dinding lift tidak akan mengecil dengan sendirinya. Karena ramai orang jadi kita seperti terasa terjepit. Kadang rasa takut itu hanya ada di bayangan kita saja, ternyata ketika coba dihadapi, tidak ada apa-apa.”
Beri kesempatan anak menceritakan monsternya
Beri kesempatan bila anak ingin cerita/ gambar tentang monster yang ia bayangkan, jelas Orissa.
Hal ini merupakan salah satu sarana anak untuk menghadapi rasa takut dan menjadi petunjuk bagi orangtua darimana asal ‘monster’ yang ditakutinya. Apakah berupa binatang besar yang ia lihat di kompleks, atau karakter dari video yang ditonton.
Misalnya dengan mengatakan: “Seperti apa monster yang kamu bayangkan?” Atau, “Apa yang kamu bayangkan akan terjadi?” Atau, “Apa kamu kenal seseorang yang menemukan monster di bawah kasurnya?” Atau, “Apa kamu pernah melihatnya?” Serta, “Apa yang terjadi terakhir kali kamu merasa ada monster di bawah kasur?”
“Dari cerita atau gambarannya, kamu bisa mendiskusikan bagaimana menjadikan monster bayangan itu menjadi tidak terlalu menakutkan, misal memakaikan baju polka dot, atau bersuara lucu,” ujarnya.
Apa Saja Langkah Konkret yang Bisa Dilakukan untuk Membantu Anak yang Takut Monster?

Tidak seperti kode roket yang super rumit, Orissa menyatakan bahwa ada beberapa cara praktis yang bisa kamu lakukan untuk membantu anak mengatasi ketakutannya. Di antaranya ini.
- Sebelum tidur, temani anak mengecek kamarnya termasuk kolong tempat tidur. Lakukan dengan singkat dan tidak berlebihan.
- Lakukan permainan dalam gelap untuk membuat anak merasa lebih nyaman dan mengurangi rasa takutnya. “Ini cara mengasosiasikan gelap dengan hal yang lebih positif, yakni dengan bermain dengan senter atau puppet shadow,” sarannya.
- Singkirkan benda-benda yang bisa membuat bayangan seperti orang/monster, misalnya boneka atau gantungan jaket.
- Lakukan rutinitas malam yang menenangkan, seperti cerita sebelum tidur tentang karakter favoritnya atau memberikan pijatan lembut.
- Tawarkan anak apa yang ingin ia lakukan untuk membuatnya lebih berani. “Misalnya membawa boneka sebagai pelindung mereka atau tidur memakai piyama superhero,” tukasnya.
- Yakinkan kamar tidurnya adalah tempat yang aman, dan bahwa kamu akan mengecek ke kamar secara berkala.
- Kurangi tontonan yang bertema kekerasan, “karena bisa jadi ‘monster’ merupakan representasi ketakutan terhadap tokoh karakter yang melakukan kekerasan (walaupun wujudnya orang biasa),” bebernya.
- Bantu anak bedakan realita dan fantasi dengan bermain. Kamu bisa melakukan permainan ini: secara bergantian, coba pikirkan suatu ide dengan mata tertutup, kemudian buka mata lagi untuk membuktikan apakah memikirkan seuatu bisa langsung menjadikan hal itu nyata. Contohnya, membayangkan unicorn datang untuk bermain atau ada hujan permen atau air di gelas ini berubah jadi es krim. Dan ketika membuka mata, katakan, “ah sayang sekali, ternyata hanya ada di bayangan mama saja”.
Dan jika rasa anak takut monster sudah ekstrem, Orissa menyarankan agar orangtua membawa anak ke psikolog atau dokter untuk menentukan bantuan apa yang bisa diberikan pada anak.
Tanda-tanda umumnya di antaranya adalah: anak menjadi clingy dengan orangtua, tidak mau tidur sendiri dan menangis, serta sulit menjalani fungsi kesehariannya.
“Atau mengalami gejala fisik seperti sakit perut/jantung berdetak cepat/sakit kepala), maka ada kemungkinan anak butuh dibantu dengan terapi atau obat,” anjurnya.