Tanya Psikolog: Bagaimana Broken Home Dapat Berdampak pada Anak?

broken home
Foto: www.gettyimages.com

Selalu ada dampak dari sesuatu yang retak, termasuk keluarga yang retak, atau broken home. Banyak anak-anak yang justru terkena dampak dari kondisi broken home, baik itu dalam dampak yang negatif atau positif.

Untuk mengetahui bagaimana dampak dari broken home bagi anak dan bagaimana cara orang tua mengatasinya, LIMONE  telah mewawancarai Vera Itabiliana Hadiwidjojo, S.Psi., M.Psi. seorang psikolog klinis anak dan remaja dari TigaGenerasi, Klinik Brawijaya Kemang, dan LPT UI Salemba. 

Apa Itu Broken Home?

broken home 2 | | Tanya Psikolog: Bagaimana Broken Home Dapat Berdampak pada Anak?
Foto: www.freepik.com

Broken home itu sering digunakan untuk mewakili ketika kondisi di mana orang tua bercerai atau berpisah. Tapi sebetulnya tidak harus selalu bercerai dan tidak harus berpisah juga, bisa saja satu rumah tapi perannya atau fungsinya tidak berjalan sebagaimana mestinya,” ujarnya.

Vera juga menggambarkan bahwa sebuah keluarga bisa dikatakan broken home ketika keadaan rumah tidak dalam kondisi harmonis. Seperti tidak pernah melakukan komunikasi meski berada dalam satu rumah, kedua orang tua sudah pisah ranjang, sang anak merasa tidak memiliki orang tua, atau yang bisa berperan aktif hanya satu orang saja di antara ibu atau ayahnya.

“Penyebabnya bisa beraneka ragam dan biasanya multifaktor. Intinya yang mendasari broken home adalah rusaknya hubungan antar ayah ibu sehingga mereka tidak dapat berperan sebagai orang tua yang baik bagi anak-anaknya,” jelasnya.

Apa Dampak Broken Home Bagi Anak?

broken home 4 | | Tanya Psikolog: Bagaimana Broken Home Dapat Berdampak pada Anak?
Foto: www.freepik.com

“Beragam dampaknya, bergantung pada usia dan tingkat pemahaman si anak. Katakanlah ayah ibunya bercerai itu ketika sang anak berusia 3 tahun, mungkin anak usia 3 tahun atau di bawah 3 tahun belum mengerti apa-apa dan ketika dewasa ada perkembangan dalam cara berpikir, sehingga pemahamannya pun berubah. Nah, itu bisa berefek beda juga tergantung bagaimana dukungan lingkungan seperti keluarga besar dalam meminimalkan dampak negatif pada si anak tersebut,” ungkapnya.

Menurut Vera, psikologis anak dapat memengaruhi masa depan namun ini bisa menjadi dampak positif atau negatif. Hal ini bergantung pada bagaimana lingkungan mendampingi sang anak hingga dewasa nanti. Ada sebagian anak yang merasa akan baik-baik saja karena perpisahan kedua orang tuanya diproses dengan lancar. Selain itu, hal ini dipengaruhi juga oleh orang tua yang menerangkan kepada anak alasan mengapa mereka berpisah. Serta setelah berpisah apakah rutinitas, perhatian, dan kasih sayang tetap diberikan kepada sang anak. 

“Orang tuanya tetap aktif sebagai ayah dan ibu untuk anak ini. Sehingga tumbuh kembangnya dan dampak negatif secara psikolognya bisa diminimalkan. Jadi, dia bisa bilang ‘Ayah ibu saya bercerai, tapi ayah ibu saya baik-baik saja karena mereka berdua tetap sayang sama saya, saya tetap punya ayah dan ibu,’” tutur Vera.

Terdapat faktor internal dan eksternal yang dapat memengaruhi sang anak. Hal ini dapat dilihat berdasarkan karakter dan sifat sang anak yang terbentuk sejak masa kecil. Plus, bagaimana ketangguhan dan kemandirian sang anak, serta apakah ia merupakan anak yang selalu berpikir positif atau tidak. Faktor internal yang memengaruhi sang anak ini tentunya tidak terlepas dari faktor eksternal.

“Kalau untuk anak-anak broken home, faktor eksternalnya memang banyak challenge, nih. Di mana mungkin ayah dan ibu tidak berfungsi maksimal atau bahkan tidak ada, jadi siapa nih, yang bisa memberikan dukungan? Nah, ini bisa seperti yang saya bilang dalam situasi sulit. Seorang individu bisa jadi baik-baik saja bahkan bisa jadi yang kuat kalau misalnya ada figur yang konsisten selalu mendampingi, memberikan perhatian, memberikan kasih sayang, dan memberikan dukungan-dukungan positif atas apa yang dia lakukan,” paparnya.

Bagaimana Sebaiknya Anak dan Orang Tua Mengatasi Dampak dari Broken Home?

broken home
Foto: www.pexels.com

“Kalau apa yang bisa dilakukan anak, boleh dibilang minim sekali ya, karena kalau dalam perpisahan atau perceraian, anak hanya sebagai objek,” jawabnya. 

Namun Vera menambahkan, untuk kasus perceraian ada tiga poin yang ingin ia tekankan, yakni:

1. Perlu ada momen di mana anak mendapatkan penjelasan mengapa ini terjadi.

Baik ayah maupun ibu, keduanya perlu menjelaskan kepada sang anak mengapa mereka berpisahpe. Namun tidak perlu dijelaskan secara detail apa penyebab perceraian atau perpisahan ini. Orang tua perlu menyesuaikan dengan pemahaman dan menggunakan bahasa yang dimengerti oleh sang anak. Pasalnya, bagaimana pun sang anak perlu memahami mengapa ini terjadi kepadanya. 

“Lalu tekankan juga bahwa ini bukan salah anak. Hal ini mengapa penting karena untuk mencegah anak mengembangkan pemikiran sendiri atau persepsi sendiri tentang apa yang terjadi sehingga nanti ujungnya dia akan menyalahkan dirinya sendiri,” tegasnya. 

“Nah ini yang harus dihindari, karena ada anak kecil beranggapan ‘oh, Papa Mama sering berantem akhirnya pisah gara-gara aku nakal‘. Nah, dia nyalahin dirinya sendiri. Nanti akan menimbulkan konsep negatif pada dirinya,” tambahnya.

2. Anak harus mengetahui apa yang berubah setelah kejadian ini.

Anak perlu mengetahui apa yang berubah setelah ini dan semua harus diinformasikan dengan pasti. Seperti setelah ini anak akan tinggal dengan siapa, tinggal di mana, atau orang tua yang akan pergi siapa dan orang tua itu tinggal di mana.

“Semua harus pasti. Jadi dihindari jawaban yang misalnya ‘kita lihat nanti deh‘, karena nanti akan membuat anak merasa insecure dan cemas. Perasaan ini yang bisa membuat dampak negatifnya menjadi besar. Harus ada kepastian, kapan dia bisa ketemu dengan misalnya ayahnya yang pergi, kapan, dan di mana,” ujar psikolog anak ini.

3. Rutinitas anak tetap harus berjalan.

Ketika memutuskan untuk berpisah atau bercerai, kedua orang tua perlu memastikan bahwa rutinitas sang anak tetap berjalan. Usahakan seminim mungkin adanya perubahan dalam rutinitas anak. “Nggak tiba-tiba orang tuanya bercerai lalu dia harus pindah sekolah juga, harus stop les ini-itu. Nah itu yang harus dihindari, karena rutinitas yang tidak berubah akan membantu mempercepat pemulihan emosi si anak menghadapi perceraian atau perpisahan,” paparnya.

Kesimpulan

broken home
Foto: www.freepik.com

Ketika anak menyadari bahwa ia mendapatkan perlakuan yang tidak nyaman dari orang tuanya, maka ia perlu berbicara langsung kepada orang tua bahwa ia tidak merasa nyaman dengan kondisi dan perlakuan ini, yang kemudian secara bersama-sama mengubahnya.

“Kalau dia merasa tidak punya siapapun itu sangat disayangkan sekali, karena berarti orang tuanya memang lepas tangan dari broken home ini. Nah, sebenarnya anak ini bisa mencari figur lain yang bisa membantu dia. Bisa didapatkan dari keluarga besar, entah itu kakek, nenek,  atau saudara dari bapak ibunya yang hadir, atau dari kakak, kalau misalnya dia bersaudara,” sarannya.

Secara umum broken home membuat anak mengalami kehilangan pijakan, namun tidak semua anak broken home akan tidak baik-baik saja nantinya. Banyak hal yang dapat membuat anak-anak akan menjadi baik-baik saja dan hidup lebih baik, serta bisa berperan sebagai orang tua yang lebih baik dibanding kedua orang tuanya dulu.

“Saya suka pakai analogi tanaman, mau potnya se-jelek apa pun, mungkin potnya agak udah retak begitu ya, tapi selama si bunga ini masih bisa tumbuh, akarnya masih kuat, dia bisa blooming, bisa berbunga yang cantik, yang bagus dan bisa dikagum banyak orang. Terlepas bagaimana kondisi rumahmu, kondisi orang tuamu, kamu adalah individu sendiri yang punya hak dan punya kemampuan untuk menentukan nanti ke depannya mau bagaimana. Apa yang terjadi di belakang kamu it doesn’t define who you are, atau who will you be,” pesannya.

Selanjutnya: Bagaimana Menjadi Orang Tua yang Baik Meski Memiliki Masa Lalu Kelam.

error: Konten dilindungi !!